Selasa, 26 Februari 2013

Cinta dalam Kalimat


Aku tahu dia dari temanku, Lia, waktu aku masih duduk di kelas 3 SMP.
Lia bilang, dia punya pacar anak sekolah sebelah. Namanya Oci. Anak rumahan yang gagah, berkulit terang, dan manis.
Hanya sebatas itu. Aku tidak pernah berkomentar lagi mengenai hal itu dan mulai melupakannya.
Tapi begitu masuk SMA, ternyata aku satu sekolah dengan Oci. Dan Lia pindah sekolah ke Ibukota, Jakarta.
Awal kuliat dia di Tes Penerimaan Siswa Baru, yah… mukanya lumayanlah. Persis dengan yang Lia ceritakan padaku. Hanya saja aku cuma melihatnya sekilas. Sekaligus berharap aku dan dia diterima di sekolah itu supaya aku bisa meledek Lia terus melalui SMS.
Aku diterima di SMA itu. Tapi aku tidak tahu apakah Oci diterima di SMA itu juga atau tidak.
Waktu MOS, aku sama sekali tidak melihatnya. Jadi, kupikir dia tidak diterima.
Tapi aku benar-benar terkejut! Ternyata Oci diterima! Dia masuk di hari pertama sekolah. Mungkin dia sengaja menghindar dari MOS SMA Kartika yang terkenal berat.
Aku beda kelas dengannya, jadi aku tidak bisa terlalu dekat dengannya. Tapi walaupun begitu, karena aku satu sekolah dengan Oci, aku bisa meledek Lia sepuasnya. Walaupun semakin lama aku semakin lupa untuk mengejek Lia saking sibuknya aku dengan urusan sekolah.
Di dua semester itu, aku tidak pernah berbicara dengan Oci. Walaupun diam-diam aku sering nyengir sendiri ketika melihatnya.
Dan di dua semester itu juga, aku bertemu dengan banyak lelaki. Ada Fadil, Reza, Ahmad, dan yang terakhir adalah Tian.
Sebelum naik kelas, OSIS SMA Kartika mengadakan pelatihan kepemimpinan untuk mencari generasi OSIS selanjutnya. Dan ternyata Oci ikut. Aku juga ikut.
Di pelatihan kepemimpinan itulah aku pertama kali berbicara langsung dengannya.
Cerita awalnya, aku terlambat datang ke pelatihan itu. Dan satu-satunya kursi kosong adalah di sebelahnya. Di pelatihan itu, kami berdua sama-sama bosan, dan akhirnya malah mengobrol saat guru-guru menjelaskan materi. Karena ketahuan, kami malah dihukum.
Sejak saat itu, karena pelatihan dilakukan di sekolah dan menginap selama dua hari, setiap ada materi kami pasti saling menjagakan tempat duduk di sebelah kami supaya kami bisa duduk berdua.
Dan lama-lama aku jadi akrab dengannya. Setiap berpapasan di koridor, aku menyapanya. Atau kadang-kadang dia duluan yang menyapaku.
Waktu pun semakin berputar. Tak terasa kami sudah naik kelas, bersamaan dengan aku putus dengan Tian. Tian sudah di-drop out dari sekolah saking nakalnya.
Masalah sebenarnya, aku sudah jatuh cinta pada Tian.
Kembali ke topik awal;
Aku satu kelas dengannya.
Tambah gila-lah kami berdua. Ke mana-mana pasti berdua. Tapi kami tidak berpacaran sama sekali, seperti kisah-kisah lainnya. Kami bahkan tidak saling jatuh cinta.
Aku hanya menganggapnya sahabat, dan dia juga.
Dia sering bercerita tentang perempuan yang ia suka, Regita, dan ia sering meminta nasihatku. Oh iya, dia sudah putus dengan Lia. Kalau aku, aku sering bercerita tentang Tian. Mantan terakhir yang masih sangat kucintai.
Sialnya, karena kami sering berdua, semua orang suka sekali meledek kami berdua.
“Ciee…”
“Aduh, so sweet-nya…”
“Jadi iri, deh.”
Menyebalkan. Tapi Oci, yang berkepala dingin, menasihatiku. Katanya, aku tidak boleh membawa ejekan itu sampai ke kepala. Ya, aku mengikuti nasihatnya.
Semakin lama, aku semakin suka dengan Tian walaupun Tian semakin jauh. Dan saking ‘gila’nya aku ditinggalkan oleh Tian, aku nekat mencari laki-laki lain. Namanya Didi. Dia adik kelasku.
Lama-lama aku suka juga dengan Didi. Walaupun awalnya cuma main-main.
Tapi, begitu menceritakannya pada sahabat-sahabatku seperti Oci, Azhuri, dan Rani, hanya Oci yang tidak setuju. Tidak jelas motifnya.
Karena setiap hari Oci menyatakan ‘perang’nya terhadap Didi, aku memutuskan Didi. Dan hatiku kembali lagi pada Tian.
Dan Oci juga sudah berganti hati. Dia sudah mencintai Winda, kakak kelas kami.
Tak sengaja, suatu hari, aku mendengar kalau Sella, adik kelasku, naksir pada Oci. Aku memberitahu Oci, dan lama-lama kami asyik dengan masalah itu. Kami melupakan masalah Tian dan Winda.
Dan ternyata masalah itu, entah kenapa, menjadi luas. Banyak kakak kelasku yang masuk ke dalam masalah itu. Seperti Kak Finka, yang menjadi pendukung utama Sella dalam merebut hati Oci dari Winda.
Hal itu membuat Oci bingung.
Kak Finka, Kak Tika, Kak Wahyu, dan bahkan Ibu Jena, guru kami, sudah memberitahu pilihan mereka pada Oci. Mereka semua kecuali Kak Finka memilih agar Oci tidak pindah hati pada Winda.
Tapi, dari sekian banyaknya orang yang dimintai pendapat, Oci hanya menunggu pendapatku.
Aku jadi bingung. Aku takut karena pilihanku, Oci jadi sedih. Atau marah. Atau kecewa.
Tapi akhirnya aku memilih Winda.
Dan masalah Oci tidak hanya sampai situ saja. Ternyata Kak Finka, memakai handphone Oci tanpa sepengetahuan Oci untuk ‘menembak’ Sella.
Dan masalah pun tambah ruwet. Oci jadi semakin sering bersamaku untuk curhat tentang masalah ini.
Tetapi ternyata Sella curhat ke kakak-kakak kelas tentang Oci. Oci yang terlalu cuek, dan lain-lain. Dan kakak-kakak kelas itu, yang sering melihatku jalan bersama Oci, langsung menganggapku sebagai perebut Oci dari Sella.
Padahal sama sekali tidak.
Kubiarkan saja. Yang penting Oci bisa menyelesaikan masalahnya dengan bantuanku. Biar aku yang tersakiti, asalkan Oci bahagia. Oci sahabatku, dan aku tidak akan membiarkannya sedih.
Lalu Oci meminta nasihatku. Dia ingin putus dengan Sella walaupun bukan dia yang ‘menembak’ Sella. Dia ingin putus karena dia memang tidak suka pada Sella, dan Winda mulai sadar akan cintanya.
Baguslah. Kubantu sebisa mungkin agar Oci bisa putus dengan Sella dan jalan dengan Winda.
Tapi entah kenapa, atas pertimbangan dari Kak Tanti, Oci tidak memilih Sella ataupun Winda. Dia tidak memilih keduanya dan memilih untuk menyelesaikan pendidikannya dulu.
Kudukung dia.
Terus seperti itu.
Saking dekatnya aku dengan Oci, Puput, sahabat Lia, melaporkan pada Lia kalau aku dekat dengan Oci dan digosipkan berpacaran.
Jadi, pas reuni SMP dan Lia pulang ke sini, aku tidak mendapat undangan yang dibuat oleh Lia dan Puput sama sekali.
Aku sedih dimusuhi oleh sahabat-sahabat lamaku karena kesalahan yang bukan salahku.
Tapi aku tetap bertahan.
Seterusnya begitu, penuh dengan penderitaan. Aku sempat putus asa dan meminta agar Oci menjauh dariku. Tapi itu sangat sulit. Aku sudah telanjur dekat dengan Oci.
Awalnya biasa saja.
Tapi aku baru merasa ada yang aneh sejak…
Waktu itu Wika datang padaku dan bertanya apakah aku berpacaran dengan Oci atau tidak. Waktu itu aku sedang bersama Putri dan Lisa. Aku bilang tidak, tapi Wika malah berkata…
“Kata Oci iya.”
Hah? Oci mengaku kalau aku pacaran dengannya?
Putri dan Lisa langsung berkata, “Amin.”
Rasanya mau kujitak satu-satu saja mereka berdua.
Lalu hari-hari berlanjut seperti biasa. Sampai hari Jumat. Waktu itu, aku sedang bersama Oci, dan Wika bertanya hal itu lagi padaku. Di depan Oci.
Waktu Wika bercerita, Oci mengisyaratkan agar Wika diam.
Aku merasa curiga. Ada apa kah sebenarnya? Apa jangan-jangan Oci benar-benar bercerita pada Wika kalau aku pacaran… dengannya?
Tapi aku berusaha positive thinking. Waktu itu, aku merasa aneh, tapi aku tidak enak meninggalkan Oci. Jadi aku tetap duduk di sebelahnya.
Setelah Wika pergi, datanglah Kak Dion. Dia berteriak, “Ya… yang lagi pacaran!”
Aku langsung berdiri dan pergi.
Oci mengejarku.
Karena dia tahu aku sedang bad-mood, dia mengajakku bertemu Sella.
Aku langsung antusias. Aku ingin mengetahui bagaimana reaksi Oci begitu melihati Shilla. Aku segera melupakan bad-moodku.
Aku dan Oci pun turun ke blok 9, tempat kelas Sella berada. Kebetulan hari itu semua jam pelajaran setiap kelas dikosongkan oleh guru.
Tapi, baru sampai di blok 8, Oci sudah mogok jalan. Katanya dia malu.
Kupaksalah dia. Tapi dia tetap berhenti di blok 8. Tepat di samping kelasnya… Didi.
Dan aku melihat Didi. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku tetap memaksa Oci.
“Oc, ayo turun!”
“Enggak!”
“Ayo!”
“Enggak!”
“Ayo!”
Lalu adik kelasku mengajakku berbicara. Namanya Sasha. Terpaksalah aku berhenti sejenak untuk memaksa Oci.
Selesai berbicara dengan Sasha, aku lanjut memaksa Oci.
“Ci, ayo!”
Oci mengangguk. “Oke. Tapi gue maunya lewat jalan samping.”
Hah, untuk apa memutar? Jangan-jangan… Oci malu lewat jalan sini karena ada orang yang ia suka?
“Kenapa?” tanyaku.
“Lewat samping aja.”
Aku mengernyit. “Jangan-jangan…”
Tapi yang menyahut adalah Didi. “Jangan-jangan… jangan.”
Aku hanya tersenyum sedikit pada Didi, lalu berlanjut ke Oci. “Ayo, Ci! Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan… jangan.”
Tapi yang menyahut tetaplah Didi.
Karena risih, aku pun menuruti ajakan Oci untuk jalan melewati jalan samping. Memutar.
Oci langsung berkata, “Makanya! Ada Didi! Jadi gue gak mau lewat sana! Tau gak? Dari tadi gue liatin, dia curi-curi pandang ke lo terus! Sialan tu anak!”
Aku hanya diam dan mengangguk kecil. Bahkan ketika Oci melihati Sella.
Pulang sekolah, aku langsung online.
Dan Rani ternyata sedang berkelahi dengan Odi di Facebook.
Rani sahabatku, aku tidak suka kalau dia melakukan kejahatan di Facebook. Jadi aku berusaha menasihatinya.
Tapi dia tidak mau mendengarku, dan malah memarahiku.
Biasanya aku akan terpancing emosi, tapi kali ini tidak. Aku diam saja.
Selalu begitu. Setiap aku berusaha menyadarkan sahabatku, pasti aku selalu gagal.
Aku jadi sedih.
Dan aku curhat pada Oci lewat SMS.
“Selalu begitu. Setiap gue berusaha nyadarin sahabat gue, gue selalu salah.”
“Kenapa?”
“Rani punya masalah. Dia yang salah. Gue berusaha nyadarin dia dengan halus, tapi dia malah jengkel. Gue emang manusia gak berguna! Gak bisa apa-apa! Semua sahabat gue selalu gue bikin jengkel! Lo juga Ci, lo gak usah temenin gue lagi.”
“Jangan gitu. Mungkin suatu saat nanti mereka akan berterimakasih sama lo.”
“Enggak akan. Semua sahabat gue selalu gue buat kecewa.”
“Gue anggap lo sahabat, tapi gue gak pernah kecewa sama lo.”
Dan gue langsung nangis. Terharu dengan kata-katanya.
“Nanti, Ci. Pas lo sadar kalau gue gak ada apa-apanya!
“Enggak.”
“Iya!”
“Enggak. Untuk apa gue curhat ke lo kalau gue gak percaya sama lo.”
Aku tambah menangis. Karena saking terharunya, aku hanya bisa membalas…
“:’(”
Kukira dia tidak membalas SMS-ku lagi. Oci memang jarang membalas SMS-ku.
Tapi dia balas..
“Senyum dong ^_^”
Astaga… dia benar-benar niat membuatku terharu dan menangis! Sebenarnya aku tidak menangis karena masalahku, tapi aku menangis karena hiburannya!
Kubalas, “Iya :) thanks.”
“Jangan pernah bilang begitu lagi, oke?”
Dan aku tidak bisa membalas SMSnya lagi saking terharunya.
Sejak itu, aku merasa aneh setiap berada di dekat Oci. Apalagi, karena kakak-kakak kelas semakin gencar mengejekku.
Tapi aku tidak bisa lama-lama bersedih, karena sebentar lagi ada perkemahan pramuka! Yes! Aku bisa jauh-jauh dari Oci dan juga kakak-kakak kelas!
Akhirnya perkemahan pun datang.
Dan aku benar-benar menikmati perkemahan 3 hari dua malam itu. Hiking-nya, lomba-lombanya, dan banyak hal lagi.
Sampai akhirnya…
Setelah hiking, kakiku terasa sangat sakit. Bengkak. Sebenarnya aku sudah biasa, tapi entah kenapa yang ini sangat sakit.
Aku pun berjalan ke tenda medis sehabis shalat Isya. Aku berjalan dipapah oleh Putri.
Di perjalanan, aku sadar aku pasti akan bertemu dengan Oci. Karena Oci adalah salah satu anak yang ditunjuk jadi tim medis.
Betul saja.
Aku pun segera memanggil Oci. “Oci! Ambilin gue minyak gosok, dong!”
Oci pun segera bergerak mengambilkanku minyak gosok, dan kemudian aku berpesan padanya agar tidak memberitahu guru-guru. Lalu aku kembali ke tenda.
Karena sakit, aku memutuskan tidur.
Saat itu, aku benar-benar tidak tenang. Banyak pikiran yang menggangguku. Apalagi masalah Oci. Berkali-kali aku bangun, lalu tidur lagi. Berkali-kali pula aku mengambil napas panjang dan melotot sendiri.
Entahlah.
Lalu aku terbangun di jam sembilan. Dan aku menangis sendiri entah kenapa sambil memegangi kakiku yang sakit.
Teman-temanku langsung panik. Dea, Inka, dan Putri langsung menghubungi tim medis.
Dari jauh kulihat Oci berbicara pada Dea. Pasti tentang aku yang sakit dan menangis.
Pak Reska datang dan aku dipaksa ke tenda medis. Begitu keluar dari tenda reguku, di luar sudah ada Oci, Yumna, dan Reza. Tiga orang yang menjadi anggota tim medis.
Aku hanya menelan ludah melihat Oci. Aku menggenggam minyak gosok yang ia berikan tadi dengan erat. Lalu aku berjalan.
Ketika berjalan, rasanya agak sakit. Jadi aku berjalan pincang.
Dan karena baru bangun tidur, aku merasa agak sempoyongan. Aku langsung menggenggam lengan orang di sebelahku agar aku tidak pingsan.
Dan orang itu adalah Oci.
Begitu aku sadar, aku langsung mencampakkan tangan Oci. Dan Pak Reska langsung datang dan memegangku sebelum aku benar-benar pingsan.
Yang kupikirkan hanyalah satu; betapa malunya aku bertemu Oci lagi.
Setelah diurut oleh Pak Reska di tenda medis, aku langsung pergi ke tendaku atas inisiatif sendiri. Aku bosan berada di tenda medis. Lagipula tidak ada yang memerhatikanku, aku bisa kabur.
Aku pun berdiri dengan sempoyongan, dan memakai sandal.
Tapi sebuah suara mencegahku, “Mau ke mana?”
Suara Oci.
Wajahku kurasakan memanas. Tapi aku harus santai. Aku harus bisa mengatasi perasaan ‘aneh’ku!
Aku pun berjalan ke arah Oci, lalu kukembalikan minyak gosok yang ia berikan. “Makasih. Gue mau ke tenda. Bosen.”
“Lo bisa jalan sendiri.”
Aku hanya diam dan terus berjalan sendiri ke tenda.
Sejak saat itu, sampai selesai berkemah dan seterusnya, aku merasa aneh setiap bertemu Oci. Karena perlahan-lahan… aku mulai melupakan Tian!
Oh Tuhan… bagaimana ini?
Dia itu sahabatku! Dan akan terus seperti itu! Aku tidak rela kehilangan sahabat seperti dia, Tuhan..
Jangan-jangan ini memang karena perkataan teman-temanku.
“Semoga lo jadian sama Oci.”
“Cie… semoga langgeng yah.”
Ada pepatah, “Perkataan adalah doa.”
Dan mungkin ada cinta nyata yang tumbuh karena kalimat itu.
Jangan Tuhan. Dia sahabatku.
Cerpen Karangan: Nur Azizah Maharani
http://my.opera.com/RaniPastinya/blog/

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Newer Post Older Post ►